Oleh: Adnan, S.Kom.I., M.Pd.I.
Akhir-akhir ini, profesi konselor sedang digandrungi oleh masyarakat. Konklusi ini terlihat dari realitas maraknya pembukaan dan pengembangan program studi (prodi) Bimbingan Konseling/Islam (BK/I) di sejumlah perguruan tinggi, termasuk di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di seluruh Indonesia tanpa kecuali Aceh. Beberapa PTAIN di Aceh telah membuka dan sedang mengembangkan prodi tersebut, semisal UIN Ar-Raniry dan IAIN Malikussaleh Lhokseumawe. Diprediksi PTAIN Aceh yang lain juga akan segera membuka prodi ini.
Maraknya pembukaan dan pengembangan prodi BK/I bukanlah tanpa alasan. Tapi, ini merupakan wujud konkret dari kehadiran Perguruan Tinggi (PT) dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Sebab itu, diantara alasan tersebut yakni, pertama, pengembangan spesialisasi keilmuan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa perkembangan zaman selalu dimotori dengan perkembangan ilmu. Ilmu menjadi penggerak dari setiap fluktuasi zaman. Sebab, tanpa ilmu zaman akan mengalami kemunduran, sebagaimana yang di alami dunia Barat beberapa abad lalu, dikenal dengan zaman kegelapan (dark age).
Karena itu, kehadiran ilmu BK/I merupakan buah dari perkembangan zaman untuk menjawab perkembangan zaman masa kini dan ke depan. Kelihatannya, masyarakat mampu membaca peluang-peluang tersebut sehingga prodi BK/I menjadi salah satu pilihan utama dalam menyekolahkan putra-putri mereka. Gayung bersambut ini dimanfaatkan sejumlah PT untuk terus berbenah diri dalam pengembangan prodi BK/I. Sebab, jika PT tidak peduli terhadap prodi ini, tentu masyarakat akan harap-harap cemas dalam menjemput harapan dan cita-cita masa depan.
Kedua, meningkatnya masalah-masalah sosial dan psikologis. Tidak dapat dihindari, bahwa semakin maju suatu bangsa akan berkorelasi dengan meningkatnya masalah-masalah sosial dan psikologis penduduknya. Berkaca dari negara-negara maju, semisal Amerika, sebuah negara yang menjadi superpower dunia, namun masalah-masalah sosial dan psikologis juga terus meningkat di sana, semisal depresi, cemas, kriminalitas, individualis, hedonis, dan penyakit (patologis) sosial. Karena itu, semakin maju suatu bangsa, akan berkorelasi terhadap meningkatnya kebutuhan terhadap tenaga-tenaga kejiwaan, semisal konselor.
Contoh lain, kasus narkoba misalkan, sebuah kasus yang semakin hari semakin meningkat. Tentu untuk menangani para pengguna/pecandu narkoba tersebut sangat diperlukan sentuhan tangan-tangan profesionalisme konselor. Dalam satu pertemuan beberapa minggu lalu, penulis berbincang dengan, Dr Zulkarnaen Nasution, direktur Rehabilitasi Narkoba Sibolangit Center, Sumatera Utara, ia menyebutkan bahwa konselor adiktif sangat dibutuhkan ke depan. Karena kasus-kasus penyalahgunaan narkoba semakin marak terjadi di masyarakat, sehingga narkoba menjadi musuh nomor wahid di negeri ini.
Ketiga, konselor belum merata padahal keberadaannya urgen. Keberadaan konselor di sejumlah instansi/lembaga sangat diperlukan dalam membantu masyarakat. Tapi, banyak persoalan sosial dan psikologis masyarakat saat ini disebabkan tidak adanya konselor dalam suatu lembaga, semisal di Kantor Urusan Agama (KUA) dalam membina rumah tangga sakinah mawaddah warahmah (Samara). Akibatnya, kasus-kasus perceraian di pengadilan terus meningkat dengan beragam penyebab. Ini akibat dari tidak adanya bimbingan berkelanjutan dari konselor. Maka keberadaan konselor di KUA sangat urgen dalam membina pasangan suami-isteri (pasutri) untuk mengawetkan keutuhan rumah tangga.
Selain itu, keberadaan konselor (guru BK) di sejumlah sekolah banyak yang tidak mencukupi. Hal ini terlihat dari data ABKIN 2015, bahwa Indonesia saat ini hanya memiliki guru BK sebanyak 34.500 guru, sedangkan idealnya 129.500 guru. Artinya, data ini menunjukkan bahwa terjadi kekosongan guru BK sebanyak 95.000 guru. Sehingga di sejumlah sekolah terkadang posisi guru BK diambil-alih oleh wali kelas atau guru mata pelajaran (mapel). Akibatnya, pelayanan BK di sekolah tidak intensif dan tidak massif. Karena itu, hal ini perlu dijawab oleh PT untuk melahirkan para konselor yang berkualitas dan profesional, agar para konselor tersebut menjadi problem solver di sejumlah sekolah.
Beberapa alasan
Lantas bagaimana prospek konselor Islam? di Aceh khususnya. Tentu kehadiran konselor Islam di Aceh sangat didamba-dambakan masyarakat. Berikut beberapa alasan, pertama, keberadaan konselor Islam sangat berkorelasi dengan kondisi Aceh yang memiliki legalitas formal penegakan syariat Islam. Tentu, penegakan syariat Islam harus dimaknai secara komprehensif dan holistik, termasuk metode-metode dan teknik-teknik dalam penyelesaian masalah-masalah sosial dan psikologis masyarakat. Maka konselor Islam pasti memiliki dan menggunakan metode dan teknik yang sesuai dengan nafas universalitas Islam dalam menangani persoalan psikis masyarakat.
Kedua, keberadaan konselor Islam sangat berkorelasi dengan kondisi geografis dan sosial masyarakat Aceh. Artinya, Aceh merupakan satu daerah yang rawan terjadinya bencana, baik bencana alam (gempa bumi, tsunami, banjir, dan longsor) maupun bencana sosial (konflik horizontal dan vertikal). Sebab itu, potensi bencana alam dan bencana sosial tersebut harus diantisipasi, diantaranya dengan menyiapkan tenaga-tenaga kejiwaan semisal konselor Islam yang sesuai dengan kearifan lokal (local wisdom) masyarakat Aceh.
Sebab, realitas sosial saat ini ketika bencana alam dan bencana sosial terjadi, kita masih fokus pada bantuan logistik bukan psikis. Padahal bantuan psikis juga sangat penting dipersiapkan untuk menolong para korban bencana. Karena, kalau korban bencana tidak ditolong secara psikis akan menimbulkan traumatik yang berkepanjangan. Akibatnya, masyarakat mudah cemas, stres, khawatir berlebihan, depresi, dan sedih berlebihan, sehingga masyarakat tidak memiliki produktivitas.
Ketiga, meningkatnya persoalan sosial di Aceh. Banyak persoalan-persoalan di Aceh yang belum terselesaikan dengan baik, semisal pengangguran, rendahnya kualitas pendidikan, kemiskinan, dan politik amoral. Persoalan-persoalan klasik tersebut masih mewabah di Aceh ditengah melimpahnya ‘uang’, baik ‘uang’ APBA, maupun otonomi khusus (otsus). Tentu, berbagai persoalan itu akan menjadi bom waktu pada suatu saat jika masyarakat tidak didampingi oleh konselor Islam. Konselor Islamlah yang akan berperan dalam membantu masyarakat dalam mencari solusi untuk menghadapi berbagai persoalan klasik tersebut.
Berkualitas
Dengan demikian, untuk menjawab tiga alasan di atas sejumlah PTAIN di Aceh hendaknya mampu menyiapkan para konselor Islam yang berkualitas dan profesional serta seiring dengan nilai-nilai universalitas Islam. Prodi BKI di sejumlah PTAIN di Aceh harus mendesain sejumlah instrumen mumpuni agar cita-cita ini dapat tercapai. Sehingga para mahasiswa yang dididik untuk mengemban profesi konselor Islam dapat menyelesaikan masalah masyarakat berbasis nilai-nilai universalitas Islam.
Konselor Islam diharapkan mampu menguasi teori dan praktik keilmuan BKI. Ini modal dasar sebagai konselor Islam. Jangan sampai konselor Islam tidak memiliki metode-metode atau teknik-teknik konseling Islami. Sehingga konselor Islam sama dengan konselor umum, artinya tidak memiliki ciri khas tersendiri dalam menyelesaikan masalah psikis masyarakat. Selain itu, langkah yang dapat dilakukan oleh PT yaitu dengan membuka prodi BKI jenjang magister dan doktoral di PTAIN di Aceh. Ini juga sebagai wujud konkret PT dalam menyiapkan dan mengembangkan keilmuan BKI, dan sebagai instrumen melahirkan konselor Islam berkualitas, profesional, dan senafas dengan nilai-nilai universalitas Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar